Selasa, 29 Mei 2012

Citra Negatif "Kota Kembang" Dan Keindahan Di Setiap Sudut Kota Bandung



BANDUNG PARIS VAN JAVA

Dago

Cihampelas

Braga


Pasteur

Dan Icon Icon Bandung

Gedung Sate

Jembatan Pasupati




IndonesiaSeni.com, Bandung - Kota-kota di Indonesia memiliki julukan masing-masing, sesuai karakteristik dan sejarah kotanya. Kalau Yogyakarta dijuluki kota pelajar, karena banyak menghasilkan intelektual dan cendekiawan, dan Surabaya dijuluki kota pahlawan karena aksi heroik masyarakatnya pada masa revolusi fisik dulu, maka Bandung dijuluki kota kembang. Julukan Bandung sebagai kota kembang terdengar manis di telinga siapa saja yang mendengarnya. Namun, apakah yang dimaksud dengan istilah kota kembang ini? Identikkah Bandung dengan kembang?

Seorang teman yang berasal dari luar kota pernah berkata kepada saya bahwa tujuan dia ke Bandung setiap akhir pekan adalah untuk “cuci mata” melihat “kembang” Bandung yang cantik-cantik. Tentu saja yang dimaksud olehnya bukanlah kembang dalam arti yang sesungguhnya, melainkan konotasi untuk menyebut perempuan cantik. Diakui atau tidak, memang makna kota kembang bagi Bandung terkesan ambigu. Sastrawan Sunda Ajip Rosidi pernah menulis tentang alasan utama Bandung disebut kota kembang. Dalam artikelnya “Bandung Harus Mengubah Citra” yang terdapat di buku kumpulan tulisannya berjudul Mencari Sosok Manusia Sunda (2010: 156), Ajip heran mengapa Bandung disebut sebagai kota kembang. Menurut Ajip, penyebutan kota kembang bagi Bandung tidak jelas apa maksudnya. “Apakah dengan sebutan itu, Bandung hendak dinyatakan sebagai kota yang penuh dengan kembang? Kalau yang dimaksud kembang itu adalah bunga-bunga yang mekar dari pohonnya yang indah dipandang serta menyebarkan wangi, maka hal itu jauh dari kenyataan...” demikian tulis Ajip.



Sebutan kota kembang bagi Bandung muncul pada masa setelah kemerdekaan. Pada masa ini, menurut Ajip, Bandung mengidentifikasikan dan membanggakan diri sebagai kota kembang. Namun Haryoto Kunto yang dijuluki sebagai kuncen Bandung dalam bukunya Wajah Bandung Tempo Doeloe berpendapat kalau sebutan ini sudah ada sejak akhir abad ke-19. Ketika itu, Bandung menjadi tempat kongres pertama Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula. Konon, Jacob (panitia kongres) kebingungan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi peserta kongres yang berasal dari luar Bandung. Kemudian seorang pemilik perkebunan di Priangan yang royal, Schenk, menyarankan agar memboyong sejumlah gadis cantik Indo-Belanda dari Pasirmalang. Hasilnya, kongres sukses karena kehadiran gadis-gadis tadi. Dari mulut ke mulut para peserta kongres, akhirnya Bandung disebut sebagai de bloem der Indische bergsteden alias “bunganya kota pegunungan di Hindia.” Apakah benar julukan kota kembang cuma sindiran halus untuk menyebut bahwa kota ini dipenuhi gadis-gadis cantik?

Kata Haryoto Kunto di halaman lain bukunya, “mustahil Bandung tempo doeloe mendapat julukan kota kembang kalau tidak ada bunganya yang berserakan tumbuh di segenap penjuru kota.” Kunto menulis, tak mungkin Charlie Chaplin terpesona akan keindahan taman kota Bandung kalau bukan lantaran bunganya cantik. Selain itu, ia mengatakan, bagaimana mungkin toko kembang Abundanita di Jalan Braga dapat mengirim bunga segar setiap pagi ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, kalau kota ini bukan lautan bunga. Maka bukan mustahil Bandung baheula dijuluki kota kembang lantaran di kota ini dipenuhi kembang. Namun Haryoto Kunto menulis kalau di Bandung waktu dulu cuma ada satu taman saja. Mantan Menteri Perhubungan dan Pembina Gabungan Artis dan Seniman Sunda (GaSS), Agum Gumelar, dalam sebuah kesempatan berpidato di lapangan Gasibu pada Maret 2010 lalu mengatakan bahwa waktu ia masih sekolah dulu dirinya sempat mengenang seluruh rumah di Bandung berpagar bunga. “Itulah kenapa Bandung disebut kota kembang,” kata Agum. Inikah alasan lain julukan kota kembang? Entahlah. Yang jelas sekarang maknanya sudah terlanjur “miring” di telinga orang, terutama para pelancong.

Seorang penulis artikel berjudul “Sejarah Prostitusi di Bandung” mengatakan bahwa Bandung dijuluki kota kembang bukan kembang dalam arti bunga yang harumnya semerbak mewangi, tetapi kembang jalanan yang terdiri dari kaum wanita penjaja cinta sesaat. Sejak tempo doeloe hingga kini, Bandung memang terkenal dengan lokasi-lokasi untuk perempuan penjaja seks komersial (PSK). Praktik “jualan kembang” di kota Bandung sudah ada sejak awal abad ke-20. Banyak sekali lokasi “kembang-kembang” menjajakan dirinya di kota Bandung pada masa kolonial. Wakhudin (2010) dalam bukunya berjudul Saritem menyebut, untuk mereka yang berada pada strata sosial atas, terutama Belanda, mereka bisa berkunjung ke Margawati, salah satu gang di Jalan Braga. Untuk orang-orang pribumi, bisa berkunjung ke Tegallega. Adapula Gang Aleng (sekarang Jalan Panjunan) yang merupakan kependekan dari pakaleng-kaleng (bergandengan). Pelacuran memang benar-benar marak dan menjadi sesuatu yang sangat wajar ketika itu. Bahkan pada 1930-an, orang-orang tidak akan merasa malu jika mereka sedang mengantre di lokasi pelacuran. Ada dua primadona yang namanya populer kala itu, yakni Icih Seeng dan Nyi Dampi yang dijuluki sebagai De Bloem van Kebon Kalapa (Kembangnya Kebon Kalapa). Saat ini bisnis seks di Bandung tampaknya masih dapat dengan mudah ditemukan, dari yang mangkal di jalanan hingga yang menetap di satu tempat. Coba saja pada malam-malam tertentu Anda berjalan di sekitar di Jalan Asia Afrika, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Oto Iskandardinatta, Jalan Dewi Sartika, Jalan ABC, Jalan Naripan, Jalan Banceuy, dan sekitaran alun-alun, maka Anda akan menemukan para “kembang” yang menawarkan jasa. Di malam-malam tertentu mereka memenuhi Jalan Braga. Selain itu, masih banyak lagi tempat mangkal “kembang jalan”, seperti Gang Aleng di daerah Jalan Astana Anyar, Tegallega, Ciroyom, dan tentu saja Saritem yang terkenal itu. Karena citra ini, sampai-sampai ada orang Inggris melontarkan kalimat: "Don't come to Bandung, if you left your wife at home".

Dengan demikian ada tiga makna kota kembang, yaitu kota yang dipenuhi (banyak) kembang, kota yang banyak perempuan cantiknya, dan kota yang dipenuhi “kembang jalanan”. Saya melihat, ada degradasi makna di sini. Konotasi “kembang” di sini lebih kepada objek yang hanya untuk dieksploitasi. Rasanya kurang adil juga. Berkaca pada sejarah, menurut saya, perempuan-perempuan Bandung adalah perempuan yang hebat. Lihat saja Dewi Sartika yang menjadi perempuan pertama di Indonesia yang mendirikan sekolah khusus perempuan pribumi, lebih awal daripada Kartini. Atau Maria Ulfah yang menjadi perempuan pertama Indonesia yang berhasil meraih gelar sarjana hukum di Universitas Leiden.

Selain dikenal dengan julukan kota kembang, Bandung juga lekat dengan julukan Parijs van Java alias Parisnya Jawa. Lagi-lagi julukan ini terdengar manis di telinga siapapun. Seakan-akan sebutan itu merupakan sanjungan yang menegaskan bahwa Bandung adalah replika Paris yang anggun dan megah. Namun sejatinya, julukan itu merupakan sindiran seorang ahli tata kota. Pelakunya adalah seorang arsitek bernama Hendrik Belage. Ia merupakan perwakilan arsitek dalam Congres Internationaux d`Architecture Moderne (CIAM) yang diselenggarakan di kota Chateau de la Sarraz, Swiss pada Juni 1928. Dalam pertemuan tersebut, Hendrik menyentil bahwa kota Bandung dalam pembangunannya yang berkiblat ke barat-baratan dan lebih terpaut ke kota Paris, tidak menonjolkan ciri khas tropisnya dan tidak mencerminkan kepribadian yang mandiri (Majalah Mooi Bandoeng, 1935). Dari sini, sindiran itu menyebar ke seluruh dunia. Dan akhirnya dunia mengenal Bandung sebagai Parijs van Java dengan makna yang terdengar “manis”. Celakanya, sindiran ini terus-menerus terwariskan, dan sekarang diabadikan dengan adanya sebuah mal super megah di Jalan Sukajadi yang diberi nama agak kacau: Paris van Java.

Terlepas dari itu semua, berkaca pada pembahasan tadi dan pencitraan negatif dari banyak orang, tampaknya kita harus berpikir ulang untuk bangga dengan predikat Bandung sebagai kota kembang. Saya pikir makna “kembang” di sini sudah menjadi citra negatif bagi Bandung sendiri. Namun, peluang menjadikan julukan kota kembang punya citra positif masih terbuka, jika saja kita serius memberantas “kembang-kembang” jalanan dan menanam kembang-kembang yang indah di setiap sudut kota ini. Jika ini tidak dilakukan, maka benar kata Ajip Rosidi (2010: 156), “kecuali di toko bunga, misalnya di Jalan Wastukancana, kita jarang sekali melihat bunga di kota Bandung. Bahkan di taman-taman (warisan Belanda)  juga jarang kelihatan kembang. Tapi kata “kembang” juga mempunyai arti kiasan, yaitu kembang jalan. Nah, soal ini tampaknya memang Bandung tepat dinamakan kota kembang,” tulis Ajip.

Fandy Hutari
Penulis lepas, tinggal di Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar